“Kuukir
Komitmen untuk Selalu Mencintaimu”
Waktu
memang tidak selalu mudah kugenggam. Bahkan, hingga saat ini diriku masih
menunggu waktu memberikan jawaban yang pasti. Dia, seseorang yang telah membuat
pandanganku berubah. Dia, seorang yang sudah membuat hatiku tertunduk padanya.
Jawaban darinya lah yang selalu kutunggu hingga saat ini.
Kutatap
beberapa waktu ke belakang, saat diriku berpartisipasi dalam moment TC di
lapangan tenis Banua Patra Balikpapan. Saat itulah seseorang mengetuk dan membuka
pintu hatiku, dan kali pertama kami bertatap muka. Kupikir kami adalah pasangan
yang pas dan cocok karena kami saling mendalami ilmu bela diri silat. Sebagai
atlet silat, dirinya nampak berbeda di mataku, berbeda dengan semua wanita yang
pernah kukenal. Itulah yang membuat diriku tertarik padanya. Hingga akhirnya,
kami berada dalam satu mess dalam ajang Walikota Cup. Aku baru bisa menatapnya
dari kejauhan. Yuni, begitulah teman-teman memanggilnya. Tanpa kutanya, aku
telah mengetahui namanya lebih dulu. Dia memang pemalu dan tidak banyak omong,
apalagi omong kosong. Sebagai atlet wanita, ia pantas memiliki karakter itu.
kutahu satu hal, bahwa dirinya tidak banyak bicara apalagi pada seorang yang
belum dikenalnya, jadi kupikir akan sulit mendekatinya.
Tapi
akhirnya, kuberanikan diri untuk mendekati hatinya. Langkah pertama, kupinta
nomor HP-nya pada temanku, dan alhasil aku bisa mendapatkannya. Akhirnya
kuluncurkan serangan selanjutnya. Aku mulai memberinya pesan, hanya sekadar
berkenalan dan berbasa-basi. Ya, kutahu bahwa jawabannya hanya sekadarnya saja
dan bahkan, ia tidak terlalu peduli dengan sms-ku. Aku tak pantang menyerah.
Semenjak turnament itu, aku masih menghubunginya dan bahkan meneleponnya. Ia
memang menjawab teleponku, dan kutahu bahwa dirinya hanya sekadar menghormati
si penelepon, dan kuanggap ia belum tertarik padaku.
Perjuanganku
masih panjang dan belum berakhir, aku terus mendekatinya. Tentu aku sabar
menanti dirinya, bahkan hingga saat ini, menjelang akhir tahun 2008. Sudah hampir
setahun aku menunggu kepastian darinya, menunggu jawaban yang sangat
kubutuhkan. Kusadari bahwa dirinya yang telah berpisah dengan mantannya,
membuat kemungkinan kecil bahwa ia butuh waktu panjang untuk memantapkan
hatinya kembali, mencoba membenahi hatinya untuk bisa menerima hati yang baru,
seperti hatiku ini.
Masa itu dimana dia masih berstatus siswa SMA kelas 2, dan sedangkan aku
sudah bekerja.Hari
pun berlalu, dan ternyata, waktu pun bisa kuraih dengan genggaman yang begitu
erat. Inilah waktu yang telah kutunggu selama ini. Setelah hampir setahun, usahaku
nyatanya tidak sia-sia. Setelah berbagai cara kucoba, hasilnya pun bisa kuraih.dan atas
berkat bantuan sahabat akhirnya pada tanggal 26 desember 2008 malam kita
bertemu, selepas maghrib aku berinisiatif untuk meminjam motor saudaraku untuk
menjemput si do’I di rumahnya, sesampainya di rumah nya aku beranikan diri
untuk meminta izin kepada kedua orangtua nya untuk mengajagk nya jalan keluar,dan
izin dari orangtua sudah aku kantongi selanjutnya kupacu motor butut milik
saudaraku, “maklum pada waktu itu belum sanggup nyicil motor” dan roda motor
pun berhenti di sebuah taman, yg biasa disebut anak balikpapan sebagai taman
melawai II, dan mulai dari perbincangan kecil aku mencoba untuk menatap wajahnya,
namun apa daya dia selalu menundukan wajahnya, seakan takut atau malu
kepadaku,” maklum wajahku sedikit garang” perbincangan dengan ditemani segelas
juice alpukat dan sekotak martabak begitu nikmat, dikarenakan bisa bertatap
muka langsung dengan wanita yang aku damba dan tunggu selama ini.
Sekian
lama aku selalu memberikan perhatian padanya walau terkadang membuatnya bosan, memberikan
banyak hal yang disukainya walau terkadang ia menolaknya dan bahkan aku
berusaha menjadi sahabat terbaiknya walau terkadang diriku sakit mendengar
kisah mantannya, tapi aku bersabar hingga aku bisa mendapatkan hatinya.
Segera
kucatat dalam memoriku, tanggal 26 Desember 2008 kami resmi menjadi sepasang
kekasih, alias pacaran. Bayanganku selama ini akhirnya pecah dan menjelma
menjadi kebahagiaan yang takkan dapat kuhitung banyaknya. Entah apa yang telah
membuat hatinya terbuka untukku, entah apa yang telah merasukinya untuk
memberikan cintanya padaku, tak kutanyakan hal itu padanya, yang jelas, sejak
detik itu hatiku
merasa luas menyimpan kebahagiaan yang menggunung. Aku bahagia, hingga membuat
dadaku sesak dan jantungku terus berdetak kencang dan bahkan darahku mengalir
dengan derasnya.
Dengan
menyandang status pacaran, kami mulai berkomitmen, saling mencintai dan
menerima satu sama lain hingga titik darah penghabisan hidup kami, alias sampai
jadi nenek kakek. Pastinya karakter kami berbeda, dan karenanyalah dibutuhkan
sebuah cinta sebagai penengah dari perbedaan itu.
Kian
hari hubungan kami semakin erat dan bahkan direstui oleh keluarga kami. Diriku
semakin merasa nyaman selalu bersamanya, begitupun Dia yang seolah-olah terus
menempel padaku, bahkan bisa dibilang kalau kami jarang bertengkar. Memang tak
pernah kubayangkan untuk mengenalkan Dia pada orang tuaku, tapi di suatu
hari, waktu lah yang telah mengenalkannya pada ibuku. Nyatanya, ibuku
menyukainya karena sikapnya yang pemalu dan santun. Begitupun, ayah merestui hubungan
kami, serta orang tua darinya. Kupikir, hubungan di usia dini akan dilarang secara
keras, tapi tak kusangka hubungan kami berjalan lancar bahkan hingga ia lulus SMA.
Setiap
orang tentu memiliki impian berbeda, dan kutahu bahwa ia memiliki impian berbeda
denganku. Kuhargai dirinya yang ingin berkuliah di universitas negeri ,
melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Tentunya aku bangga
jika ia
berkeinginan melanjutkan pendidikannya, tapi bukan itu yang kupermasalahkan.
Bahwa ia ingin
berkuliah di kota tepian, Hidupnya tentu belum berada diatas keputusanku, karena status kami
hanyalah pacaran. Tentunya ia masih menjadi tanggung jawab orang tuanya,bahwa orang tua nya mengizinkannya berkuliah di
kota tepian. Pendidikan masih menjadi haknya dan ia adalah tanggung jawab orang tuanya.
Sementara diriku, harus mendukungnya dan tetap menjaga komitmen yang telah kami
bangun selama ini.
Akhirnya
kuputuskan untuk mendukungnya. Kutahu bahwa hubungan kami akan menjadi LDR alias Long Distance Relationship. Hubungan
jarak jauh memang gampang-gampang susah, dan inilah yang akan menjadi tantangan
kami selanjutnya. Dengan dewasa, Dia mencoba mengukuhkan komitmen kami
dan membuatku semakin tenang.
Aku
pun membantu nya mulai
dari pendaftaran kuliah hingga mencari tempat tinggalnya di kota tepian. Kami
berangkat dari kota Minyak Balikpapan menuju kota tepian. Mulanya, ia tidak ingin melibatkanku
untuk urusan perkuliahan, namun segera kuambil alih tugas ayahnya untuk
mengurus perkuliahannya. Alhasil akulah yang turun tangan mulai dari awal. Kami
segera menyusuri kota tepian, mencari tempat kost yang layak untuk ditempati.
Ini memang kali pertama aku dan dia mengunjungi kota asing ini. Jadi,
tidak heran jika kami tersesat dan bahkan tak tahu arah. Tanpa peta yang bisa
dipegang, kami mencari universitas yang dituju dengan bermodalkan numpang
tanya. Alhasil, numpang tanya kesana kemari selama dua hari telah membawa kami
ke tempat yang dituju. Tidak hanya menemukan tempat perkuliahan, tapi juga
langsung mendapatkan tempat kost yang terbaik. Tempat kost dengan harga
terjangkau dan jaraknya sangat dekat dengan kampus, dan inilah yang akan
membuatku lega dan tenang untuk meninggalkannya hidup sendiri di kota asing
ini. Dia akan
tinggal di rumah kost putri bertingkat, dan ia tinggal di lantai dua. Ruangannya memang tidak
besar, tapi sangat cukup menjadi hunian sendiri. Pastinya dia akan nyaman tinggal di kost
ini sampai tiba kelulusannya nanti.
Dengan
tenang akupun bisa meninggalkannya pergi. Aku hanya bisa berpesan agar ia tetap
menjaga komitmennya. karena mulai saat ini aku tidak bisa berada di sisinya
setiap hari. Ya, kupikir hubungan kami sudah sangat dekat. Kutahu, bahwa
pancaran matanya memberikan makna kesetiaan.
Memang
tidak setiap saat aku mengunjunginya, karena akupun tidak memiliki kesempatan sebanyak itu.
Kini, aku bekerja sebagai karyawan swasta di suatu Bank di Balikpapan. Bekerja
maupun kuliah bukanlah hal yang mudah. Begitu dapat kurasakan naik turunnya
semangat diri, terutama saat aku merindukannya. Kupikir, cintaku saat ini
bukanlah cinta anak ABG, karena aku selalu peduli padanya. Setiap keluh
kesahnya selalu diceritakannya padaku, dan aku berusaha menjadi pendengar dan
pencari solusi yang baik. Aku bersyukur, karena hubungan kami tidak berjalan
serumit hubungan pasangan lainnya. Mungkin, komitmen yang telah kami bangun
telah menjadi sebuah kesetiaan bagi kami berdua.
Dia hanya
bisa pulang ke Balikpapan saat libur kuliah, dan aku pun hanya bisa mengunjunginya
di sela-sela waktu luangku. Perasaan bahagia saat bertemu denganya , karena
rasa rindu yang mendalam. Kucoba menerima keadaannya. Aku pun sadar bahwa selama ini
ia tidak terlalu banyak berkomentar mengenai diriku, pekerjaanku atau bahkan
karakterku.
Setahun
kemudian, tibalah hari penting bagi Dia. Hari yang paling dinantikan oleh
seluruh mahasiswa. Hari yang sangat membanggakan ini membuatku ingin mengajak
seluruh keluarga menemuinya. Di hari wisudanya, aku berangkat ke kota tepian bersama
keluarga nya,
bersama orang tua, dan adik laki-laki nya. Namun, orang tuaku tak dapat hadir karena harus
mempersiapkan banyak hal.
Kuucapkan
selamat padanya, selamat telah berhasil menyelesaikan kuliahnya, selamat telah
menggapai impiannya dan juga selamat telah memberikan kesempatan bagiku dan
orang tuanya untuk merasa bangga dan bahagia padanya. Aku senang melihat
kelulusannya. Ikatanku bersamanya semakin erat, begitupun tali keluarga kami.
Setelah hari kelulusannya tersebut, Hari berikutnya, aku mendampinginya untuk mencari pekerjaan. Aku
mendukung semua keinginannya. Ia memang melamar kerja di Balikpapan dan juga di kota tepian.
Aku terus mendukungnya dan berharap agar ia diterima bekerja di Balikpapan,
sehingga kami tak terpisah. Namun, siapa yang tahu takdir? Takdir bukanlah kita
yang menentukan, bukan kita yang merencanakan dan bukan kita yang meminta,
melainkan takdir datang dengan sendirinya, tanpa kita ketahui dan bahkan tanpa
pernah kita menerka.
Akhirnya
ia diterima bekerja di sebuah
instansi Pemerintah di kota tepian. Kususun dan kubenahi kembali hatiku,
mencoba menerima takdir yang telah dicatatkan Allah pada setiap hamba-Nya.
Hubungan kami kembali menjadi LDR, dan kucoba berpikir bahwa ini adalah hal
biasa, karena kami telah menjalani hubungan demikian selama empat tahun. Yang
terpenting saat ini adalah menjaga komitmen agar hubungan kami tetap utuh
hingga waktu pernikahan kami tiba.
Hingga
akhirnya, beberapa hari kemudian, komitmen kami mulai goyah. Komitmen yang
telah kami bangun dengan pondasi yang begitu kuat, kini mulai retak. Entah
bermula dari mana, entah dimulai sejak kapan, entah berasal dari sebab apa, tak
kusadari bahwa hubungan kami mulai renggang. Kian hari muncul banyak
pertengkaran diantara kami.
Sejujurnya,
Dia bukanlah penyebab
utama retaknya hubungan kami. Kusadari, bahwa diriku memang egois, kusadari
bahwa aku terlalu cemas dan khawatir, dan bahkan terlalu cinta pada dirinya hingga membuat keegoisanku
menggoyahkan hubungan kami. Kutahu bahwa diriku egois, tapi tak dapat
kupungkiri bahwa keegoisanku ini memiliki alasan. Tentu aku sepakat akan
pekerjaan yang sedang dijalaninya saat ini, tapi satu hal yang selalu mengusik
hatiku. Jarak tempuh dia dari tempat kontrakannya menuju kantornya terlalu jauh,
bahkan sangat jauh. Orang tua nya memang tidak terlalu mempedulikan hal itu, karena anaknya yang membuat keputusan
tersebut dengan resiko yang berani ia tanggung.
Aku
tahu bahwa tempat itu memang diusulkan temannya, aku pun tahu bahwa ia satu kontrakan dengan temannya dan aku pun tahu
bahwa dia
berangkat ke kantor bersama temannya. Namun, tetap saja kecemasanku selalu
menang. Kecemasanku mengalahkan hati nuraniku untuk memikirkan perasaan dan
kenyamanan nya.
Secara tak sadar, aku sering berkata dengan nada tinggi di telepon, dan bahkan
saat bertemu dengannya.
Seperti
biasa, aku menganggap dia akan selalu tunduk padaku, dalam artian selalu mendengarkan
nasihatku, mendengarkan setiap kata-kataku. Namun, kali ini dia berbeda. Seolah ia
membangkang atas semua perkataanku. Ku sadari bahwa diriku bukanlah orang
tuanya yang berhak memarahinya saat aku merasa adanyakesalahan dalam dirinya,
kusadari pula bahwa diriku bukanlah suaminya yang berhak mengaturnya dalam
segala hal. Namun, aku merasa bahwa diriku sangat penting baginya, hingga aku
berusaha memberikan yang terbaik untuknya.
Orang
tua nya
memang telah menitipkan nyapadaku. Mereka percaya padaku, mereka yakin dan hampir
seutuhnya memberi kepercayaan padaku untuk menjaga nya, mendampingnya dan bahkan
mengurus segalanya. Mungkin, kepercayaan itulah yang telah membuatku kelewat
batas, hingga aku tak enggan mengeluarkan amarahku di depannya, hingga aku tak
perlu berpikir berkali-kali untuk berkata kasar padanya, dan bahkan aku tak
segan membentaknya.
Kucoba
membicarakan hal ini pada orang tua nya. Aku pun mengunjungi mereka ke
rumahnya, bermaksud memberikan yang terbaik untuk dia. Namun, walau aku dipercaya
untuk menjaga dan mengurus anaknya, tetap keputusan pekerjaan ada di tangan anaknya. Bahkan, secara tak langsung
orang tua nya
sangat setuju dengan pekerjaannya, walau jarak tempuh kantor dan kontrakan
memang jauh, Dan setelah orangtuanya mendengar pertengkaran di antara kita, mereka
sangat menyayangkan ini terjadi, dengan permasalahan ini kenapa sampai seperti
ini? “tanya sang ibu nya kepadaku”
Aku pun tak bisa banyak bicara, karena sudah terlalu penuh apa yang ada
dalam otak ku waktu itu.
Aku
terpaksa mengalah. Hal ini lebih baik dibandingkan mendengar permintaan
berpisah dari mulut kedua orang tuanya. Diriku akan nampak sangat jelek di mata
kedua orang tuanya, jika aku terlalu mengekang nya ataupun memaksakan kehendakku pada nya. Aku mencoba menerima
keadaan nya.
Setelah
berusaha, nyatanya usahaku tak berhasil. Aku pun mengunjungi dia ke kota tepian. Kutatap mata
binar nya yang
sangat indah. Memoriku menerawang pada ingatan masa SMA. Awal pertemuan kami di
sebuah turnament. Kusadari bahwa dia adalah seorang atlit yang mungkin
akan merasa tahan banting, merasa kuat untuk bepergian jarak jauh setiap hari
atau bahkan untuk kerja lembur. Namun, keadaan dulu dengan sekarang sangatlah
berbeda. Aku tak dapat melihat dia yang bertubuh kokoh dan kuat, serta jiwa atlet yang pernah
merasuki dirinya kini sudah memudar. Tubuhnya nampak lebih kurus dari semenjak
ia bekerja.
Walau ia akan berkata tidak lelah, tapi kutahu bahwa tubuhnya sangat lelah.
Jujur, aku ingin memintanya untuk berhenti bekerja, atau resign dari pekerjaannya,
namun segera kutahan,Kucoba menerima setiap pilihan nya, kucoba mendukungnya. Kami
berbincang seperti biasa ala kadarnya. Sebuah rindu yang baru kulepas padanya.
Malam tahun baru sekitar pukul 09.00 WITA aku jemput ia di terminal, yg
baru saja pulang dari kota dimana ia bekerja, sepanjang perjalanan ke rumahku
kita mencoba ngobrol ringan , dan pada sesampai di rumahku , ku coba memancing
pembicaraan tentang pekerjaanya, dan mulai dari situ ekspresi wajah maupun
bicaranya rada kurang bersemanagat, aku mungkin sudah sangat keterlaluan
denganya, dia baru saja sampai di kotanya dan mungkin merasa lelah, namun aku
mengajaknya berdebat dengan permasalahan karir nya.
Setelah beberapa menit kemudian ku antar dia pulang ke rumahnya, namun
sebelum pulang aku ajak dulu ia mampir ke tempat acara teman , hanya sekedar
mengantar titipan dan kami langsung melanjutkan perjalanan ke rumahnya,
sepanjang perjalanan entah mengapa hati begitu kacau,Secara tak sadar kulampiaskan
amarahku di depannya. Bisa dibilang inilah puncak dari amarah yang harus
kukeluarkan. Bahkan tak kusadari airmataku berjatuhan menahan sesaknya tekanan di
dalam dada,
Kukerahkan semua ucapan kekhawatiranku, bahkan kupinta Dia untuk resign dari
pekerjannya. Namun, dia hanya terdiam. Aku tak sadar, bahwa tanganku segera meraih helm dan membantingnya ke jalan. Seketika helm tersebut terlepas
kacanya.
Sepertinya, karakter asliku mulai keluar. Jujur, sifat pemarahku ini sudah
kukubur dalam-dalam semenjak aku bertengkar denganya dan membuat
komitmen untuk berubah. Namun, kekhawatiranku pada nya telah melahirkannya kembali.
Aku
tak bisa mengatur diriku, bahkan aku benci melihat diriku yang seperti ini. Aku
tak ingin dia
menangis ataupun sedih melihatku seperti ini, namun, tetap gusarku kian
membesar dan tak dapat kubendung.
Tak
kusangka pula bahwa dia menunjukkan sikap kesalnya padaku. Kesal akan sikapku yang
mengekangnya, kesal dan juga marah atas keegoisanku yang terlalu tinggi. Walau
segera kuatur napas untuk menghentikan pertengkaran kami, tapi amarah nya pun kian memuncak. Ia
mencurahkan rasa tertekannya padaku, rasa pengorbanannya dan kerendahan hatinya
yang selalu mengalah padaku. Aku pun tak mau kalah, dan justru terus menantang
ucapan nya.
Perdebatan kami masih berlanjut sesampai nya di rumah, dan ada yang
membuat aku sontak seperti mimpi, saat aku mendengar kata-kata yang seharusnya tidak pernah
keluar dari mulut nya. “Sebaiknya kita berpisah”, itulah kata-kata yang seharusnya
tidak pernah ada di dunia ini. Tak kusangka bahwa rangkaian kata tersebut
justru keluar dari mulut wanita yang kusayangi. Tak pernah kubayangkan bahwa
aku sendiri yang akan mendengar kata-kata tersebut. Tapi ini nyata dan tidak
palsu. Aku mendengarnya dalam keadaan sadar dan segera kupinta dia untuk meralat ucapannya.
Tapi, dia tidak
dapat menarik ulang kembali apa yang telah dikatakannya.
Diriku
belum bisa pulang dari tempat tinggalnya. Aku belum percaya dengan hari ini,
aku tidak ingin percaya dengan ucapan nya. Aku mencoba menolak pengakuan nya untuk putus denganku. Aku
tak menyerah untuk mempertahankan hubungan kami. Aku tak ingin, hubungan yang
telah terjalin selama 7 tahun harus berakhir tragis seperti ini.
Namun,dia justru semakin memperkuat
keputusannya. Aku terdiam dan kupastikan kembali ucapannya. Kutanyakan dan
kupinta pertanggungjawabannya atas komitmen yang telah kami bangun selama ini.
Hubungan kami bukanlah hubungan ABG atau bahkan cinta monyet, tapi hubungan
yang sudah terjalin selama 7 tahun yang bukanlah hubungan main-main. Apalagi
orang tua kami yang sudah saling mengenal dan bahkan kami seakan telah menjadi
sebuah keluarga.
Mendengar
hal ini, kutatap dia yang berpikir ulang kembali. Kuyakin ia menyadari akan komitmen yang
pernah ia bangun dulu bersamaku. Diriku cukup tenang, hatiku berdengus halus,
seolah dunia sedang memberikan secercah harapan baru. Dia meminta waktu untuk
memikirkannya kembali, berpikir akan hubungan yang telah lama kami jalani. Aku
memang tidak bisa berharap lebih. Kuharap dia tidak sungguh-sungguh memutuskan
hubungan kami. Aku pun segera meminta maafnya. Dia memang memberiku maaf namun dengan
desus yang terlontar lirih. Kucoba memaklumi hatinya yang memang sedang terusik
kelabu, dan itu disebabkan olehku, diriku yang terlalu kuat mempertahankan ego.
Hari
pun berjalan terus sesuai berputarnya bumi pada porosnya. Namun, hubungan kami
tetap renggang. Aku terus menghubunginya, mengajaknya berbicara dan mencoba
meminta canda padanya. Namun, Ia kembali pada sikap awalnya, ia yang pendiam dan enggan
berbicara pada orang yang belum dikenalnya, seolah ia hendak melupakanku. Aku
hanya bisa berharap agar retaknya hubungan kami tidak sampai pecah.
Tak
lama kemudian, empat hari sebelumnya merupakan waktu yang selalu kami tunggu di setiap
tahun. Di tahun-tahun sebelumnya, anniversary
selalu terasa indah dan menyenangkan, seolah dunia selalu berpihak pada
kami.. Segera kuberikan karya tangan yang kubuat sepenuh hati, sepenuh jiwa
raga dengan kesulitan bertubi-tubi. Kubuat sebuah karikatur yang menggambarkan
diriku bersamanya. Aku memang tidak pandai menggambar, bahkan bisa dibilang
tidak bisa menggambar, namun kucoba membuatnya bersama dengan bantuan teman demi membuat ia terkesan.
Tatapan
nya dan goresan senyum yang
terlukis di ujung bibirnya menunjukkan bahwa dirinya terkesan pada karikatur
yang kubuat. Hari ini aku bisa melihat kebahagiaan dari sisi nya. Kuharap
kebahagiaan ini bisa terus abadi. Kami memang tidak mengobrol banyak, bahkan
aku tak bisa asyik berbincang seperti dulu kala. Aku hanya bisa menatapnya.
Hanya sebatas melempar senyum, itulah yang terjadi di Anniversary tahun ini.
Hari
berlalu, dan aku masih terus menghubunginya. Ia selalu menjawab teleponku,
membalas sms-ku. Namun, ia tak pernah menghubungiku lebih dulu. Aku semakin
takut dan cemas. Kucoba menata hatiku kembali, mencoba menerima keadaan yang
sedang menimpa kami. Aku terus berharap hubunganku bersamanya bisa kembali seperti dulu, saat kami jarang
bertengkar atau bahkan hampir tak pernah bertengkar.
Tapi,
nyatanya harapan tidak sesuai dengan kenyataan.
Kenyataan
ini begitu pahit kurasakan, walau akhirnya tetap aku harus menelannya. Tetap
aku tak bisa menolak kenyataan yang benar-benar ada di depan mata kehidupanku.
Aku hanya bisa mendengus sedih walau lirihan hati ini benar-benar kesal penuh
pilu. Dia memang
menerima karikatur berbingkai sederhana yang menghimpit nyaseminggu lalu.
Ucapan
terima kasihnya justru membuatku sedih. Kata terima kasih itu telah memecahkan
harapan dan serpihan kebahagiaan yang hampir bisa kukumpulkan. Ucapan terima
kasihnya disusul dengan permintaam maaf dan kalimat perpisahan, seolah ia
mengakhiri hubungan kami, tapi ini memang nyata. Artinya,Dia benar-benar mengakhiri
hubungan kami. Selanjutnya, Dia terdiam. Aku hanya bisa menunggu kata-kata selanjutnya dari
balik handphone-ku. Kuharap ia merasa menyesal telah mengeluarkan ucapan paling
pilu yang tidak pernah ingin kudengar. Tapi, kenyataan selalu berpaling dari
harapan yang kubuat. Ia putuskan untuk mengakhir hubungan kami.
Hatiku
hampir gusar dan marah, namun mataku justru meneteskan air mata. Aku segera
menyusulnya ke kota tepian. Kususul ia ke kontrakannya, meminta penjelasan
dan memintanya untuk meralat kembali ucapannya, sepanjang malam di kota
tepian kita habiskan dengan makan malam bersama di sebuah warung nasi goreng
pilihanya, dan setelahnya kita lanjutkan perjalanan di depan sebuah masjid di
kota tepian, perbincangan serius terjadi di waktu itu , tak hentinya ia
meneteskan air mata.dan aku berusaha untuk tetap tegar, walau dalam hati hancur
tak terkira.
tiba
di kontrakannya, Dia tetap teguh pendirian. Kutatap matanya yang berbinar terang.
Kupikir terdapat penyesalan yang terlukis dari tatapan matanya, tapi ia menegaskan kembali ucapannya
hingga membuatku tak bisa berkutik, tak berani mengeluarkan ucapan pembelaan
atau ucapan memelas, hatiku bahkan tak berani meminta maaf kembali padanya.
Duniaku
terasa runtuh, aku merasa telah gagal menjadi seorang pria. Aku gagal mempertahankan hubunganku
sendiri. Aku gagal mempertahankan komitmen yang telah kami bangun bersama dulu.
Walau telah kujelaskan berkali-kali padanya, akan komitmen cinta kami, akan
hubungan keluarga kami, akan masa lalu kami, Hera tetap meminta hubungan kami
berakhir. Dengan kukuh dan pendirian kuat, Dia mempertahankan ucapannya tadi.
Begitupun aku terus mencoba agar ia mencabut kembali keputusannya,
namun...... segera tercatat secara tidak langsung dalam memoriku bahwa tanggal
1 Januari 2016 menjadi akhir dari hubungan kami.
Kalimat
terakhir yang diucapkannya padaku; “Kita jalani masing-masing dulu Mas, aku
kepengin sendiri.... Bila Tuhan menjodohkan kita, kita akan bertemu kembali.”
Kata-kata
terakhirnya ini hampir membuatku gila. Aku merasa menyesal akan sikap kasarku,
tapi masa lalu itu tak dapat kuperbaiki. Jika memang takdir menjodohkan kami,
seharusnya ia bisa
memberiku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Namun, ucapannya tadi seolah
menyatakan bahwa diriku telah bersalah dan tidak membiarkanku untuk memperbaiki
kesalahan tersebut. Ia hanya menyerahkan semuanya pada takdir, mencoba
menjalani hidup dengan tidak bersamaku. Entah ia berharap jauh dariku, entah ia
benar-benar tidak mencintaiku lagi, entah ia hanya ingin berjalan di jalan
Tuhan tanpa memiliki keteguhan hati. Aku tak bisa menerka pemikirannya saat
ini.
Akhir
dari hubungan kami membuat hidupku cukup kacau. Kegalauanku mulai menjadi-jadi.
Hatiku kacau, pecah berantakan, cukup sulit bagiku mengumpulkan kembali
serpihan hati yang telah pecah berantakan. Selama berhari-hari hidupku tak
terkontrol. Porsi makanku pun berkurang dan bahkan tidak nafsu makan. Jadwal
tidurku menjadi berantakan tak terkontrol, bahkan aku jarang tidur dan lebih
memilih menghabiskan malam dengan merenungi hidupku.
Hingga
akhirnya, aku berpikir bahwa aku harus bisa menerima takdir ini dengan lapang. Kusadari,
bahwa kesalahan berawal dari egoku. Karena itu aku menyesalinya. Tanpa perlu
diumumkan, orang tua kami telah mengetahui akhir dari hubungan kami. Bahkan,
sebagai orang tua mereka hanya bisa menyerahkan masa depan kami pada Yang Maha
Kuasa, berharap baik pada takdir kami. Aku bangga pada orang tua kami yang
tidak memaksakan kehendak mereka pada kami. Bahkan, sejak awal hubungan kami
diterima dengan lapang oleh mereka, namun karena kesalahanku hubungan kami tak
dapat dipertahankan kembali. Aku telah mengecewakan banyak pihak. Tidak hanya
diriku, tapi orang tuaku dan orang tua nya. Aku telah menyakiti hati
mereka, tapi mereka malah bisa memaafkanku.
Aku
belajar dari hubungan kami ini. Tidak seharusnya diriku mempertahankan ego
tanpa mempedulikan perasaan orang lain. Tidak seharusnya pula diriku mengekang
impian dan membatasi kehendak orang lain. Arghh...... aku patut mendapat
pelajaran ini.
Sejak
berakhirnya hubungan kami. Aku hanya bisa menanyakan kabarnya melalui sms atau
melalui orang tuanya. Aku tak bisa bertanya banyak akan hal dirinya. Cukup
kutahu bahwa ia sehat dan tidak sedang menangis atau berada dalam kesulitan.
Kenanganku
bersamanya masih tersimpan rapat di dalam memoriku. Kenangan indah selama 7
tahun disertai liku-liku perjalanan kami masih tertampung lengkap dalam memori
ingatanku. Amat sulit bagiku menghilangkan kenangan itu dari memoriku.
Kemanapun aku pergi, apapun yang kulihat, tetap ada bayangan tentang nya yang melintas di benakku. Di
setiap sudut kota yang kusinggahi, selalu tersimpan cerita yang mengingatkanku
pada nya.
Kuisi
keseharianku dengan bekerja di perusahaan temanku. Aku pun mencoba melamar
kerja ke berbagai instansi, kutemui pula teman-temanku untuk mengisi kekosonganku.
Kujalani hari-hariku dengan sabar, mencoba hidup dalam ketenangan. Namun, tetap
harap dan hatiku berkata ingin bertemu kembali dengannya. Aku berharap takdir
bisa mempertemukan kami dan takdir bisa menjodohkan kami. Walau kesibukan yang
kulakukan bertujuan mengalihkan ingatanku tentang nya, tetap bayang-bayang nya selalu mengusik hatiku.
Kubiarkan
bayangan nya
menggerayangi benakku. Kupertebal imanku, kutingkatkan ibadahku dan kupanjatkan
doaku lebih banyak. Dalam shalatku, selalu kusisipkan namanya, Yuni, seorang yang masih
kuharapkan hingga saat ini. Aku terus memanjatkan doa keselamatan untuknya.
Dimanapun ia berada, kuharap kesehatan selalu menyertainya, dan kelancaran
hidup selalu ada padanya. Aku terus berdoa agar dirinya tetap sehat dengan karir
yang memuaskan.
Dalam
sanubari, terus kupinta maaf darinya. Maafkan aku...... maaf.... karena aku
sudah menyakitimu, maaf.... karena aku sudah mengecewakanmu, maaf.... karena
aku mengekangmu. Tapi, jujur..... aku hanya ingin yang terbaik untukmu.
Maaf....
jika kamu tertekan olehku. Maaf.... bila caraku selama ini sudah salah. Maaf,
karena komitmen yang kita bangun dulu justru menjadi hancur berantakan oleh
sebabku.
Tapi,
satu hal yang perlu dan harus kamu tahu.......... kini..... aku berkomitmen akan
selalu sayang dan cinta padamu.
Aku menunggu waktu itu.